Dari Aku yang Pernah Patah
Mungkin kamu akan menganggap aku lebay, atau apalah ntah setelah membaca
cerita ini.
Tapi memang inilah yang terjadi padaku. Tepatnya 2 tahun lalu.
Dulu aku dekat dengan seseorang, aku tak akan menyebut namanya, jika ia menemukan ini pun ia pasti akan
mengernyitkan keningnya dan bertanya “apakah aku yang dimaksud olehnya?”.
Sebelum ke bagian patahnya, aku ingin sedikit cerita awal mula aku
mengenal dia.
Dia, adik kelasku di sekolah menengah pertama, sebut aja Nico namanya.
Kami kenal lewat temanku dan temannya, hingga suatu hari aku berhasil mendapat
nomor hpnya. Selang setahun lamanya ntah bermula dari mana, kami menjadi dekat
pada akhirnya, hingga memutuskan untuk membuat cerita bersama.
Hari-hari yang selama ini indah, ternyata tak berlangsung lama, badai
datang entah dari mana, membuat kami sama-sama jengah dan akhirnya memutuskan
pisah. Di sinilah awal patah hatiku bermula.
Hari itu kami akhirnya memutuskan berpisah, semalaman ku tangisi
keputusan kami berdua. Sempat bertanya-tanya, akankah kami bisa bersama lagi
nantinya?. Namun itu justru membuatku semakin berharap, berharap bahwa
perpisahan kami hanya mimpi semata. Tak ku sangka, hari-hari normal berubah
menjadi berat, terlebih saat malam tiba, dengan tugas menumpuk di atas meja dan
telpon genggam tergeletak di depan mata, tapi tak lagi berdering menyampaikan
panggilan masuk dari dia.
Aku benar-benar merasa kehilangan sedemikian rupa, kami yang hampir tiap hari ngobrol
via telpon berjam-jam sampai larut malam, hingga chat panjang yang entah
membahas apa. Mengingat semua rutinitas malam hari membuatku makin tersiksa,
susah lupa.
Aku benar-benar kacau, malam tak bisa tidur, dini hari terbangun karna
mimpi buruk, dan itu berlangsung beberapa bulan lamanya. Kadang sering tergugu
saat tiba-tiba teringat dia. Ingin menangis, tapi kering sudah air mata. Memang
lebay kelihatannya, tapi memangseperti ini adanya.
Aku yang tak pernah bisa menerima kenyataan, bahwa aku sudah
kehilangannya semakin membuatku sedih sedemikiannya.
Hingga aku membuat kacau semuanya, jadwal tidur berantakan, tugas terbengkalai,
membenci malam. Sampai saking stressnya, aku mengalami ketindihan, bahkan
hampir setiap malam. Sampai kadang malas makan, dan akhirnya hari itu, maag ku
kambuh, dan berubah akut pada akhirnya. Bukan malah membuatku melupakannya, sakit
ini malah makin mengingatkanku akan dia. Dia yang dulu jam 3 pagi aku hubungi
“aku sakit”, kini sudah tak ada. Aku ingin mempunyai teman bercerita hal-hal
detail seharianku, rasa sakitku, tapi pada siapa? Dia sudah tak ada.
Hingga satu tahun berikutnya pun, aku masih belum bisa melupakannya.
Padahal kami juga tak punya banyak kenangan, apalagi foto bersamapun tak ada. Aku
juga tidak mengerti kenapa aku sebegininya. Aku masih tetap tak bisa
melupakannya, jika hari itu ia memintaku kembalipun aku masih mau menerimanya.
Aku tak pernah mengira akan kehilangannya, aku tak pernah bersiap sebelumnya. Aku
bingung, jika aku rindu harus ku hubungi siapa?. Aku ingin bercerita,
sehari ini ada apa saja, seperti semula.
Menelpon dia sepanjang malam, menceritakan cerita panjang, mendengarkan
ceritanya, sampai akhirnya menyudahi cerita dan terlelap berharap dapat bertemu
di dunia mimpi sana.
Berpisah membuatku mengerti, apa yang ku anggap sempurna ternyata punya
celah juga. Aku yang terlalu menggampangkan perasaannya, menganggap aku akan
baik-baik saja, ternyata salah semua. Aku justru merasa makin membutuhkannya,
butuh telinganya yang selalu ada, butuh mulutnya yang selalu bercerita, butuh
dia yang mungkin tak bisa ku rengkuh, tapi masih ada di sana.
2 tahun sudah kami berpisah, beberapa waktu lalupun aku masih sempat ‘menggalaukan’ dia, masih berandai-andai bisa berbagi cerita lagi seperti
semula. Aku tak tau hari ini, saat aku menulis ini, perasaanku untuknya
bagaimana. Aku sudah merasa bisa menerima semua, termasuk menerima “dia tak
pernah merindukanku bertukar cerita saat malam tiba”. Dia yang selalu terlihat
baik-baik saja, di saat hatiku tengah hancur-hancurnya. Aku sudah tak punya
harapan apapun lagi padanya. Kalau dia membaca ini pun aku hanya ingin
berterima kasih untuk semua cerita dulu yang kita pernah bincangkan.
Perasaanmu dibalik wajahmu yang baik-baik saja mungkin hanya kamu yang
tau, tapi jika kau merasakan kehilangan, aku juga merasakan, dan aku tak pernah
menyembunyikannya, karna aku hanya ingin kau melihatku sedemikian runtuhnya,
akhirnya mengulurkan tangan dan kembali menggandengku erat. Tapi nyatanya
tidak, bahkan dulu kau mendorongku menjauh sedemikiannya. Sudah cukup sakit
hatinya, kalau hari ini kamu melihat seseroang membuatku tertawa doakan saja.
Semoga aku tak patah hati sebegitu hebatnya untuk kedua kalinya. Cukup kamu
yang membuatku patah, sampai berdiripun susah. Saat kamu melihat ia mengulurkan
tangan, menggandengku, dan mengobati luka yang dari dulu menganga, cukup doakan
agar aku benar-benar berhenti mengharapkanmu kembali, karna ada dia yang
menjagaku kini.
Komentar
Posting Komentar